Belum
lama ini saya membaca buku dengan judul "David and Goliath" yang
ditulis oleh Malcolm Gladwell. Dalam buku, saya menemukan
prinsip-prinsip yang kiranya wajib dipegang teguh oleh semua pemimpin di
semua zaman. Selama ini, orang yang berkuasa kebanyakan memimpin dengan
asumsi bahwa individu atau kelompok yang dipimpinnya akan berperilaku
rasional dan memperhitungkan untung ruginya dalam mematuhi suatu aturan.
Dengan dasar asumsi demikian, otoritas kemudian merasa harus bertindak
cukup tegas sehingga mereka berpikir dua kali untuk melanggar hukum yang
ada.
Kenyataannya, seringkali pembangkangan justru
terjadi karena tidak adanya legitimasi dari otoritas yang berkuasa.
Untuk lebih mudah memahami mengenai legitimasi, ilustrasi di bawah ini
kiranya akan membantu.
Ruangan kelas taman kanak-kanak
dengan dinding berwarna cerah yang penuh dengan gambar anak. Mari kita
sebut gurunya Stella. Stella duduk di kursi depan. Dia membacakan buku
yang dipegangnya keras-keras: "...tujuh iris tomat," "delapan zaitun
segar..." Seorang anak perempuan berdiri depan Stella, ikut membaca, dan
di sekelilingnya kelas kacau. Seorang anak perempuan berjungkir balik
melintas ruang kelas. Beberapa murid malah berbalik badan menghadapkan
punggung ke Stella.
Jika Anda masuk ke kelas Stella, apa
yang bakal Anda pikirkan? Saya duga reaksi pertama Anda adalah
menganggap Stella punya murid-murid yang susah diatur. Anak-anak seperti
itu perlu dikerasi. Mereka perlu aturan!
Tapi sebenarnya murid-murid tidak susah diatur. Ketika jam pelajaran mulai, mereka berkelakuan baik dan memperhatikan. Mereka baru nakal sesudah pelajaran berlangsung lama, dan hanya menanggapi perilaku Stella. Stella menyebabkan krisis. Bagaimana caranya? Dengan mengajar secara tak becus.
Stella
menyuruh seorang anak perempuan ikut membaca sebagai cara untuk
melibatkan murid-murid lain. Tapi, pengaturan waktu antara keduanya
sangat lambat dan kaku. Dia hanya bicara ke satu anak dan tidak memberi
perhatian kepada yang lain. Tidak ada irama. Tidak ada langkah. Tidak
jelas tujuannya. Tidak ada artinya apa yang dia kerjakan.
Ketika
itulah kelas mulai berantakan. Seorang anak mulai berekspresi
aneh-aneh. Ketika ada yang jungkir balik, Stella tak memperhatikan. Tiga
murid di sebelah kanan masih mencoba mengikuti, tapi Stella terlalu
berfokus kepada buku sehingga tak membantu mereka. Sementara itu, di
sebelah kiri Stella, enam anak telah berbalik badan. Tapi itu karena
mereka kebingungan, bukan membangkang.
Sering kali kita
berpikir mengenai otoritas sebagai tanggapan terhadap pembangkangan:
kalau ada anak yang berulah, guru menertibkannya. Namun, kelas Stella
memberi kesan sesuatu yang lumayan berbeda: ketidakpatuhan bisa juga
menjadi tanggapan terhadap otoritas. Jika guru tak melakukan pekerjaan
dengan baik, anak akan menjadi tak patuh. Hal semacam ini lebih sering
merupakan masalah keterlibatan daripada masalah perilaku. Daripada
menanggapi dengan cara 'aku mau kendalikan perilakumu', guru perlu
berpikir, 'Bagaimana caranya melakukan sesuatu yang menarik supaya kamu
tak berulah?'
Ilustrasi berikutnya adalah guru kelas tiga
yang memberi pekerjaan rumah kepada murid-muridnya. Tiap murid diberi
satu lembar tugas, dan guru membacakan soal bersama semua murid. Gagasan
membaca soal bersama anak-anak umur delapan tahun itu seharusnya tidak
pantas. Tidak ada tujuannya untuk pendidikan. Anak-anak itu sudah bisa
membaca.
Seorang anak mengangkat tangan di tengah
pembacaan karena apa yang sedang dilakukan si guru tak ada tujuannya.
Tanpa menatapnya, guru mengenggam pergelangan tangan dan menurunkan
tangan si anak. Guru langsung mencelanya. Ini satu momen pendisiplinan.
Anak itu melanggar aturan.
Tapi, jika Anda memikirkan
kejadian itu dari sudut pandang si anak, jelaslah bahwa efek yang
diharapkan tak bakal terjadi. Anak itu tidak akan jadi makin menghargai
pentingnya mengikuti aturan. Dia akan marah dan kecewa. Mengapa? Karena
hukumannya semena-mena. Dia tak bisa berbicara dan menyampaikan
pendapatnya. Dan dia ingin belajar. Jika anak itu membangkang, itu
karena gurunya yang membuat dia seperti itu.
Ketika orang
yang berkuasa ingin yang lainnya menurut, yang paling penting adalah
kelakuan si orang berkuasa itu sendiri. Itulah yang disebut "Prinsip
Legitimasi". Prinsip Legitimasi didasarkan pada tiga hal:
Tapi sebenarnya murid-murid tidak susah diatur. Ketika jam pelajaran mulai, mereka berkelakuan baik dan memperhatikan. Mereka baru nakal sesudah pelajaran berlangsung lama, dan hanya menanggapi perilaku Stella. Stella menyebabkan krisis. Bagaimana caranya? Dengan mengajar secara tak becus.
- Orang-orang yang diminta mematuhi otoritas harus merasa bisa bersuara - bahwa jika mereka berbicara, mereka akan didengar.
- Hukum harus bisa diprediksi. Harus ada harapan yang masuk akal bahwa aturan besok akan mirip dengan aturan hari ini.
- Otoritas harus adil, tidak memperbolehkan satu berbeda dengan yang lain.
Semua
orang tua yang baik mengerti ketiga prinsip itu secara tersirat. Jika
Anda ingin menghentikan Johny kecil memukul adiknya, Anda tak bisa
mengabaikannya pada satu kesempatan dan meneriakinya pada kesempatan
lain. Anda tak boleh memperlakukan adiknya dengan berbeda ketika adiknya
memukul Johny. Dan jika Johny bilang dia tidak memukul adiknya, Anda
harus beri dia kesempatan menjelaskan.
Cara Anda
menghukum sama penting dengan tindakan menghukum itu sendiri. Yang
berkuasa harus memperhatikan bagaimana pihak lain memandangnya - bahwa
yang memerintah sangat rentan terhadap pihak yang diperintah. Orang
menerima otoritas ketika melihat bahwa otoritas memperlakukan semua
orang dengan setara, ketika orang bisa bersuara dan didengar, dan ketika
ada aturan yang menjamin bahwa besok perlakuan tak akan sangat berbeda
dengan hari ini. Legitimasi didasarkan pada keadilan, suara, dan
prediktabilitas.
No comments:
Post a Comment