Belum
lama ini saya membaca buku dengan judul "David and Goliath" yang
ditulis oleh Malcolm Gladwell. Dalam buku, saya menemukan
prinsip-prinsip yang kiranya wajib dipegang teguh oleh semua pemimpin di
semua zaman. Selama ini, orang yang berkuasa kebanyakan memimpin dengan
asumsi bahwa individu atau kelompok yang dipimpinnya akan berperilaku
rasional dan memperhitungkan untung ruginya dalam mematuhi suatu aturan.
Dengan dasar asumsi demikian, otoritas kemudian merasa harus bertindak
cukup tegas sehingga mereka berpikir dua kali untuk melanggar hukum yang
ada.
Kenyataannya, seringkali pembangkangan justru
terjadi karena tidak adanya legitimasi dari otoritas yang berkuasa.
Untuk lebih mudah memahami mengenai legitimasi, ilustrasi di bawah ini
kiranya akan membantu.
Ruangan kelas taman kanak-kanak
dengan dinding berwarna cerah yang penuh dengan gambar anak. Mari kita
sebut gurunya Stella. Stella duduk di kursi depan. Dia membacakan buku
yang dipegangnya keras-keras: "...tujuh iris tomat," "delapan zaitun
segar..." Seorang anak perempuan berdiri depan Stella, ikut membaca, dan
di sekelilingnya kelas kacau. Seorang anak perempuan berjungkir balik
melintas ruang kelas. Beberapa murid malah berbalik badan menghadapkan
punggung ke Stella.
Jika Anda masuk ke kelas Stella, apa
yang bakal Anda pikirkan? Saya duga reaksi pertama Anda adalah
menganggap Stella punya murid-murid yang susah diatur. Anak-anak seperti
itu perlu dikerasi. Mereka perlu aturan!
Monday, December 16, 2013
Tuesday, November 26, 2013
Stay Authentic: Confessions of The Broken Generation
Sewaktu masa sekolah, kesuksesan seseorang dinilai dari nilai-nilai yang dia dapat.
Selewat masa sekolah, kesuksesan seseorang dinilai dari kekayaan yang dia miliki.
Semua orang mendambakan kebahagiaan.
Tetapi apa benar kebahagiaan hanya datang setelah kekayaan?
Kalau jawabannya tidak, lalu kenapa Anda masih mencari kekayaan?
Cari kebahagiaan mulai sekarang...
Kehidupan
manusia saat ini sangat mengerikan. Anak-anak sekolah dinilai dari
nilai ujian yang didapat. Orang dewasa dinilai dari kekayaan yang
berhasil mereka kumpulkan.
Serangkaian proses cuci otak
manusia ini dimulai dari sistem pendidikan yang menuntut agar semua
murid hebat dalam semua mata pelajaran. Padahal tidak dapat dipungkiri
bahwa setiap individu memiliki bakat dan minat masing-masing. Wajar
kalau seseorang memiliki prestasi yang minim untuk hal yang bukan
menjadi minat dan bakatnya. Tuntutan untuk berprestasi dalam mata
pelajaran yang tidak disukai menyebabkan anak menjadi benci kepada
pelajaran non-favoritnya yang kemudian bertumbuh menjadi ketidaksukaan
untuk belajar dan sekolah. Antusiasme dan semangat belajar mereka telah
dibunuh.
Idealnya pada masa sekolah dasar, anak memang
diberi kurikulum general untuk memancing dan melihat minat atau
bakat dari murid. Yang lebih penting lagi adalah orientasi
terhadap nilai harus diubah. Pendidikan seharusnya berorientasi untuk
mengembangkan mata pelajaran dengan nilai yang bagus, bukan fokus untuk
menghilangkan nilai yang jelek. Orang tua harus juga berhenti menuntut
anak mendapat nilai yang baik. Masyarakat juga harus berhenti menilai
anak hanya dari nilai-nilai sekolahnya.
Sekolah
seharusnya adalah tempat BELAJAR, bukan ajang kompetisi mengumpulkan
poin ujian. Seharusnya anak diajarkan nilai-nilai kolaborasi sejak dini,
bukannya menajamkan nilai kompetisi dan individualisme.
Selewat masa sekolah, kesuksesan seseorang dinilai dari kekayaan yang dia miliki.
Semua orang mendambakan kebahagiaan.
Tetapi apa benar kebahagiaan hanya datang setelah kekayaan?
Kalau jawabannya tidak, lalu kenapa Anda masih mencari kekayaan?
Cari kebahagiaan mulai sekarang...
Friday, November 22, 2013
Inspiring Graduation Speech Againts Our Education System
Berikut adalah pidato berjudul "Here I Stand" yang disampaikan wisudawan terbaik Erica Goldson pada acara wisuda di Coxsackie-Athens High School,
New York, tanggal 25 Juni 2010.
Ada sebuah kisah tentang seorang murid Zen yang masih muda tetapi tekun bertanya kepada gurunya, "Jika saya bekerja sangat keras dan tekun, berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi saya untuk menemukan Zen? Master memikirkan hal ini, kemudian menjawab, "Sepuluh tahun." Murid itu kemudian berkata, "Tapi bagaimana kalau saya bekerja sangat, sangat keras dan benar-benar melatih diri supaya belajar dengan cepat - Berapa lama waktu yang saya butuhkan?" Jawab Guru, "Nah, dua puluh tahun."
"Tapi, jika saya benar-benar, benar-benar bekerja keras, berapa lama waktu yang saya butuhkan?" tanya si murid."Tiga puluh tahun," jawab sang Guru. "Tapi, saya tidak mengerti," kata murid dengan kecewa. "Setiap saya mengatakan akan bekerja lebih keras, Anda mengatakan bahwa saya akan membutuhkan waktu lebih lama. Mengapa Anda berkata begitu?" Jawab Guru,"Bila Anda memiliki satu mata pada tujuan, Anda hanya memiliki satu mata di jalan."
Ada sebuah kisah tentang seorang murid Zen yang masih muda tetapi tekun bertanya kepada gurunya, "Jika saya bekerja sangat keras dan tekun, berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi saya untuk menemukan Zen? Master memikirkan hal ini, kemudian menjawab, "Sepuluh tahun." Murid itu kemudian berkata, "Tapi bagaimana kalau saya bekerja sangat, sangat keras dan benar-benar melatih diri supaya belajar dengan cepat - Berapa lama waktu yang saya butuhkan?" Jawab Guru, "Nah, dua puluh tahun."
"Tapi, jika saya benar-benar, benar-benar bekerja keras, berapa lama waktu yang saya butuhkan?" tanya si murid."Tiga puluh tahun," jawab sang Guru. "Tapi, saya tidak mengerti," kata murid dengan kecewa. "Setiap saya mengatakan akan bekerja lebih keras, Anda mengatakan bahwa saya akan membutuhkan waktu lebih lama. Mengapa Anda berkata begitu?" Jawab Guru,"Bila Anda memiliki satu mata pada tujuan, Anda hanya memiliki satu mata di jalan."
Subscribe to:
Posts (Atom)