Saturday, June 7, 2014

Nudge The World to A Happier Place

Judul pada posting saya kali ini secara tidak lazim merupakan visi dari sebuah perusahaan bernama Zappos.com. Zappos sendiri merupakan online shop sepatu terbesar di dunia. Zappos.com didirikan oleh Tony Hsieh. Sekilas saya ceritakan mengenai perjalanan hidup seorang Tony Hsieh.

Ketika lulus kuliah, Tony diterima bekerja di Oracle, dengan gaji yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan pekerjaan yg didapat teman-temannya. Jam kerja Tony di Oracle terasa sangat longgar dan monoton. Hal ini malahan membuat Tony mengundurkan diri dari Oracle setelah bekerja selama lima bulan. Tony kemudian memulai bisnis pertamanya sebagai perusahaan web developer.

Life is Brief, and then You Die, You Know?

Belakangan saya sedang gandrung dengan akun social networking PATH. Sepintas Path tidak berbeda jauh dengan Instagram dan Facebook. Hal yang menarik dari Path bagi saya secara  pribadi adalah tingkat intimasi dan tujuan utamanya sebagai media untuk menyimpan dan berbagi momen2 / pengalaman hidup yang kita jalani.

Sebelumnya, jumlah teman pada Path dibatasi maksimal sebanyak 150 orang. Hal ini ditetapkan berdasarkan penelitian yang menyatakan bahwa seseorang hanya mungkin mengelola lingkaran pertemanan yang intens dengan tidak lebih dari 150 orang pada satu periode waktu. Akan tetapi, Path saat ini telah memungkinkan untuk menambah jumlah teman sampai dengan 500 orang. Hal ini agak mengecewakan dan saya rasa tentunya tidak lepas dari kepentingan bisnis.

Monday, December 16, 2013

3 Prinsip Legitimasi Kepemimpinan

Belum lama ini saya membaca buku dengan judul "David and Goliath" yang ditulis oleh Malcolm Gladwell. Dalam buku, saya menemukan prinsip-prinsip yang kiranya wajib dipegang teguh oleh semua pemimpin di semua zaman. Selama ini, orang yang berkuasa kebanyakan memimpin dengan asumsi bahwa individu atau kelompok yang dipimpinnya akan berperilaku rasional dan memperhitungkan untung ruginya dalam mematuhi suatu aturan. Dengan dasar asumsi demikian, otoritas kemudian merasa harus bertindak cukup tegas sehingga mereka berpikir dua kali untuk melanggar hukum yang ada.

Kenyataannya, seringkali pembangkangan justru terjadi karena tidak adanya legitimasi dari otoritas yang berkuasa. Untuk lebih mudah memahami mengenai legitimasi, ilustrasi di bawah ini kiranya akan membantu.

Ruangan kelas taman kanak-kanak dengan dinding berwarna cerah yang penuh dengan gambar anak. Mari kita sebut gurunya Stella. Stella duduk di kursi depan. Dia membacakan buku yang dipegangnya keras-keras: "...tujuh iris tomat," "delapan zaitun segar..." Seorang anak perempuan berdiri depan Stella, ikut membaca, dan di sekelilingnya kelas kacau. Seorang anak perempuan berjungkir balik melintas ruang kelas. Beberapa murid malah berbalik badan menghadapkan punggung ke Stella.

Jika Anda masuk ke kelas Stella, apa yang bakal Anda pikirkan? Saya duga reaksi pertama Anda adalah menganggap Stella punya murid-murid yang susah diatur. Anak-anak seperti itu perlu dikerasi. Mereka perlu aturan!