Monday, December 16, 2013

3 Prinsip Legitimasi Kepemimpinan

Belum lama ini saya membaca buku dengan judul "David and Goliath" yang ditulis oleh Malcolm Gladwell. Dalam buku, saya menemukan prinsip-prinsip yang kiranya wajib dipegang teguh oleh semua pemimpin di semua zaman. Selama ini, orang yang berkuasa kebanyakan memimpin dengan asumsi bahwa individu atau kelompok yang dipimpinnya akan berperilaku rasional dan memperhitungkan untung ruginya dalam mematuhi suatu aturan. Dengan dasar asumsi demikian, otoritas kemudian merasa harus bertindak cukup tegas sehingga mereka berpikir dua kali untuk melanggar hukum yang ada.

Kenyataannya, seringkali pembangkangan justru terjadi karena tidak adanya legitimasi dari otoritas yang berkuasa. Untuk lebih mudah memahami mengenai legitimasi, ilustrasi di bawah ini kiranya akan membantu.

Ruangan kelas taman kanak-kanak dengan dinding berwarna cerah yang penuh dengan gambar anak. Mari kita sebut gurunya Stella. Stella duduk di kursi depan. Dia membacakan buku yang dipegangnya keras-keras: "...tujuh iris tomat," "delapan zaitun segar..." Seorang anak perempuan berdiri depan Stella, ikut membaca, dan di sekelilingnya kelas kacau. Seorang anak perempuan berjungkir balik melintas ruang kelas. Beberapa murid malah berbalik badan menghadapkan punggung ke Stella.

Jika Anda masuk ke kelas Stella, apa yang bakal Anda pikirkan? Saya duga reaksi pertama Anda adalah menganggap Stella punya murid-murid yang susah diatur. Anak-anak seperti itu perlu dikerasi. Mereka perlu aturan!

Tapi sebenarnya murid-murid tidak susah diatur. Ketika jam pelajaran mulai, mereka berkelakuan baik dan memperhatikan. Mereka baru nakal sesudah pelajaran berlangsung lama, dan hanya menanggapi perilaku Stella. Stella menyebabkan krisis. Bagaimana caranya? Dengan mengajar secara tak becus.

Stella menyuruh seorang anak perempuan ikut membaca sebagai cara untuk melibatkan murid-murid lain. Tapi, pengaturan waktu antara keduanya sangat lambat dan kaku. Dia hanya bicara ke satu anak dan tidak memberi perhatian kepada yang lain. Tidak ada irama. Tidak ada langkah. Tidak jelas tujuannya. Tidak ada artinya apa yang dia kerjakan.

Ketika itulah kelas mulai berantakan. Seorang anak mulai berekspresi aneh-aneh. Ketika ada yang jungkir balik, Stella tak memperhatikan. Tiga murid di sebelah kanan masih mencoba mengikuti, tapi Stella terlalu berfokus kepada buku sehingga tak membantu mereka. Sementara itu, di sebelah kiri Stella, enam anak telah berbalik badan. Tapi itu karena mereka kebingungan, bukan membangkang.

Sering kali kita berpikir mengenai otoritas sebagai tanggapan terhadap pembangkangan: kalau ada anak yang berulah, guru menertibkannya. Namun, kelas Stella memberi kesan sesuatu yang lumayan berbeda: ketidakpatuhan bisa juga menjadi tanggapan terhadap otoritas. Jika guru tak melakukan pekerjaan dengan baik, anak akan menjadi tak patuh. Hal semacam ini lebih sering merupakan masalah keterlibatan daripada masalah perilaku. Daripada menanggapi dengan cara 'aku mau kendalikan perilakumu', guru perlu berpikir, 'Bagaimana caranya melakukan sesuatu yang menarik supaya kamu tak berulah?'

Ilustrasi berikutnya adalah guru kelas tiga yang memberi pekerjaan rumah kepada murid-muridnya. Tiap murid diberi satu lembar tugas, dan guru membacakan soal bersama semua murid. Gagasan membaca soal bersama anak-anak umur delapan tahun itu seharusnya tidak pantas. Tidak ada tujuannya untuk pendidikan. Anak-anak itu sudah bisa membaca.

Seorang anak mengangkat tangan di tengah pembacaan karena apa yang sedang dilakukan si guru tak ada tujuannya. Tanpa menatapnya, guru mengenggam pergelangan tangan dan menurunkan tangan si anak. Guru langsung mencelanya. Ini satu momen pendisiplinan. Anak itu melanggar aturan.

Tapi, jika Anda memikirkan kejadian itu dari sudut pandang si anak, jelaslah bahwa efek yang diharapkan tak bakal terjadi. Anak itu tidak akan jadi makin menghargai pentingnya mengikuti aturan. Dia akan marah dan kecewa. Mengapa? Karena hukumannya semena-mena. Dia tak bisa berbicara dan menyampaikan pendapatnya. Dan dia ingin belajar. Jika anak itu membangkang, itu karena gurunya yang membuat dia seperti itu.

Ketika orang yang berkuasa ingin yang lainnya menurut, yang paling penting adalah kelakuan si orang berkuasa itu sendiri. Itulah yang disebut "Prinsip Legitimasi". Prinsip Legitimasi didasarkan pada tiga hal:
  1. Orang-orang yang diminta mematuhi otoritas harus merasa bisa bersuara - bahwa jika mereka berbicara, mereka akan didengar.
  2. Hukum harus bisa diprediksi. Harus ada harapan yang masuk akal bahwa aturan besok akan mirip dengan aturan hari ini.
  3. Otoritas harus adil, tidak memperbolehkan satu berbeda dengan yang lain.
Semua orang tua yang baik mengerti ketiga prinsip itu secara tersirat. Jika Anda ingin menghentikan Johny kecil memukul adiknya, Anda tak bisa mengabaikannya pada satu kesempatan dan meneriakinya pada kesempatan lain. Anda tak boleh memperlakukan adiknya dengan berbeda ketika adiknya memukul Johny. Dan jika Johny bilang dia tidak memukul adiknya, Anda harus beri dia kesempatan menjelaskan.

Cara Anda menghukum sama penting dengan tindakan menghukum itu sendiri. Yang berkuasa harus memperhatikan bagaimana pihak lain memandangnya - bahwa yang memerintah sangat rentan terhadap pihak yang diperintah. Orang menerima otoritas ketika melihat bahwa otoritas memperlakukan semua orang dengan setara, ketika orang bisa bersuara dan didengar, dan ketika ada aturan yang menjamin bahwa besok perlakuan tak akan sangat berbeda dengan hari ini. Legitimasi didasarkan pada keadilan, suara, dan prediktabilitas.

No comments:

Post a Comment